Juli 16, 2013

Nyontek..!!



                      MENCONTEK, BUDAYA?

Mencontek, satu perilaku baruk yang kerap terlihat di kalangan sebagian pelajar atau mahasiswa kita, terutama pada setiap musim ujian atau ulangan. Kebiasaan buruk yang sudah menjadi rahasia umum ini seakan menjadi “budaya” dan sesuatu yang sah dilakukan, ketika dunia pendidikan kita menerapkan sistem Ujian Nasional (UN) bagi standar atau ukuran kelulusan. Satu sekolah dianggap berprestasi jika banyak siswanya lulus UN, dan sebaliknya dianggap tidak berprestasi jika siswa sekolah tersebut banyak yang tak lulus UN. Mencontek dapat diartikan sebagai perbuatan untuk mencapai suatu keberhasilan dengan jalan yang tidak sah. Walaupun dalam hal ini kata “keberhasilan” dan “sah” masih dapat diperdebatkan. Tetapi saya mengambil logika secara umum dalam masyarakat kita. Sedangkan budaya adalah suatu produk manusia melalui proses pembelajaran. Dalam pengertian di atas terjadi pertentangan antara mencontek dalam konotasi yang negatif dan budaya dalam konotasi positif. Apakah patut kita menggandengkan kata budaya dengan kata mencontek dalam hal ini. Ketika frame of reference kita adalah fenomena yang terjadi dalam masyarakat kita maka hal ini sah-sah saja.

Kasus kecurangan dalam ujian adalah salah satu kasus dimana kebiasaan mencontek menjadi sangat jelas untuk diamaati. Lebih jauh lagi, kebiasaan mencontek terjadi juga dalam kegiatan-kegiatan sekolah lainnya baik mencontek pekerjaan rumah, laporan praktikum dan lain-lain. Dalam hal ini penulis merasa valid untuk mengeneralisir kebiasaan mencontek ini dari kasus dalam ujian terutama ujian nasional. Bila seseorang pelaku pencontekan ditanya tujuan mereka mencontek maka jawaban yang paling umum terjadi tentulah untuk mendapatkan nilai ujian yang baik. Ketika diberi pertanyaan lanjutan kenapa seseorang perlu mendapatkan nilai yang baik. Tentu jawabannya adalah untuk mengokohkan jalan untuk mendapatkan kesuksesan. Dalam hal ini paradigma lama dalam masyarakat kita masih terjadi. Seseorang yang sukses di sekolah maka dapat sukses juga dalam menjalani hidup. Paradigma sempit ini mendefinisikan bahwa sukses dalam hidup dengan variabel sukses di sekolah tentu saja adalah mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Tentu saja seharusnya muncul pertanyaan apakah setelah mendapatkan pekerjaan apa yang bisa dilakukan dengan berbekal pengalaman sekolahnya. Dengan penelusuran pertanyaan tersebut dapat diambil satu titik simpul permasalahan bahwa kebiasaan mencontek bermula dari sebuah konsep yang dinamakan “nilai” secara kuantitatif. Evaluasi dilaksanakan dalam rangka menilai keberjalanan sistem pengajaran maupun penilaian penetrasi kurikulum terhadap peserta didik.

Secara umum sistem evaluasi dalam sebagian besar pelaksanaan pendidikan menuntut untuk pelaksanaan evaluasi kuantitatif. Dalam pandangan filosofi positivisme meyakini bahwa kebenaran hanya dapat didekati dengan metode ilmiah. Asosiasi metode ilmiah dan nilai kuantitatif sangatlah kuat.

Kenyataan di lapangan memberikan sebuah analisis bahwa sistem evaluasi yang diterapkan sekarang ini tidak memberikan celah bagi peserta didik untuk membuktikan diri sebagai “seseorang” dengan cara lain kecuali dengan mendapatkan nilai yang baik. Dalam sosiologi, salah satu motif setiap orang untuk berinteraksi adalah untuk mendapatkan penghargaan dari lingkungannya. Dengan kata lain, untuk mendapatkan penghargaan ini harus ditempuh dengan mendapatkan nilai yang baik maka dengan itu dapat dilakukan cara apapun untuk mendapatkan nilai yang baik.

Penelusuran lebih lanjut, mari kita bandingkan sistem evaluasi yang dinamakan UAN dengan sistem evaluasi yang dinamakan EBTANAS. Walaupun dalam sistem EBTANAS masih menggunakan evaluasi kuantitatif, tetapi dalam EBTANAS tidak mengenal istilah kelulusan sekolah. Walaupun seseorang peserta EBTANAS mendapatkan nilai yang minim, tetapi masih dapat meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini diperkuat dengan anggapan buruk mengenai peserta didik yang tidak naik kelas, peserta didik yang tidak lulus ujian, maupun peserta didik yang tertinggal dalam pelajaran. Ketika masih menerapkan sistem EBTANAS, koran-koran tidak banyak dipenuhi dengan berita kontroversial seperti halnya ketika sistem UAN dilaksanakan. Inilah analisis “dangkal” untuk membuat kesimpulan bahwa sistem EBTANAS masih jauh lebih baik dari pada sistem UAN. Lebih jauh lagi ketika kita bandingkan sistem evaluasi dalam sekolah formal dengan sistem evaluasi yang diterapkan di pesantren-pesantren tradisional. Pesantren tradisional tidak mengenal pengkelas-kelasan dan justifikasi berdasarkan tingkat kecakapan santri, tetapi murni didasarkan oleh materi yang diberikan. Setiap santri berhak untuk mengikuti kelas manapun dengan tingkat kesulitan apapun dengan sekehendak santri. Pesantren pun tidak mengenal jangka waktu pengajaran ataupun jangka waktu belajar. Setiap santri berhak untuk menentukan apakah dia merasa cukup atau tidak dalam menerima sebuah materi ajar. Keunggulan pesantren tradisional dengan segala kekurangan terutama terkait kesejahteraan adalah dapat menciptakan seseorang dengan totalitas hasrat keilmuan, kesederhanaan, dan orang-orang yang dapat melebur dengan masyarakatnya.

Beralih kembali ke permasalahan kebiasaan mencontek dalam konteks masyarakat ialah tidak adanya penerapan budaya malu dalam mencontek. Pendidik atau guru pada saat terjebak dengan pandangan penerapan budaya malu dengan penerapan mempermalukan. Hal ini terlihat dengan adanya konsekuensi yang biasa diberikan kepada pelaku dengan mempermalukan di depan teman-temannya yang lain atau lingkungan lain atas tindakan mencontek. Penerapan budaya malu lebih kepada upaya brain washing untuk mendoktrin setiap orang bahwa mencontek adalah upaya yang sangat memalukan dan tidak memerlukan sebuah hukuman langsung terhadap pelaku. Setiap orang yang ingin mencontek akan merasa bahwa setiap orang bahkan dirinya sendiri akan mengawasi dan menghakiminya ketika dia mencontek. Suatu ironi hal ini tidak berlaku dalam masyarakat kita yang dikenal dengan mitos masyarakat yang santun, ramah, bermoral dll.

Pandangan di atas menghilangkan faktor individu sebagai sebuah permasalahan seperti pandangan bahwa seseorang mencontek karena ketidaksiapan dalam menghadapi ujian, adanya sifat pemalas pada individu maupun pandangan-pandangan lain yang lebih mengarah pada penghakiman terhadap individu. Hal ini dikarenakan penulis menyepakati sebuah anggapan bahwa bagaimanapun sebuah sistem jauh lebih penting dari pada pelaku sistem itu sendiri, pertama karena pelaku sistem adalah bagian dari sistem itu sendiri dan kedua adalah sebaik-baiknya pelaku sistem pasti akan menyesuaikan diri dengan sistem itu sendiri. Dan apabila sistem sudah membudayakan contek-mencontek, terbawalah pelakunya, otomatis.

Perlu kita ketahui, ada beberapa faktor penyebab seseorang berani untuk mencontek, baik yang sifatnya berasal dari dalam (internal) yakni diri sendiri, maupun dari luar (eksternal) misalnya dari guru, orang tua, dan sistem pendidikan itu sendiri.
1.   Faktor dari dalam diri sendiri
a.   Kurangnya rasa percaya diri pelajar dalam mengerjakan soal. Biasanya disebabkan ketidaksiapan belajar baik persoalan malas dan kurangnya waktu belajar.
b.   Orientasi pelajar pada nilai bukan pada ilmu.
c.   Sudah menjadi kebiasaan dan merupakan bagian dari insting untuk bertahan.
d.   Merupakan bentuk pelarian/protes untuk mendapatkan keadilan. Hal ini disebabkan pelajaran yang disampaikan kurang dipahami atau tidak mengerti dan sehingga merasa tidak puas oleh penjelasan dari guru/dosen.
e.   Melihat beberapa mata pelajaran dengan kacamata yang kurang tepat, yakni merasa ada pelajaran yang penting dan tidak penting sehingga mempengaruhi keseriusan belajar.
f.   Terpengaruh oleh budaya instan yang mempengaruhi sehingga pelajar selalu mencari jalan keluar yang mudah dan cepat ketika menghadapi suatu persoalan termasuk test/ujian.
g.   Tidak ingin dianggap sok suci dan lemahnya tingkat keimanan.
2.  Faktor dari Guru
a.  Guru tidak mempersiapkan proses belajar mengajar dengan baik sehingga yang terjadi tidak ada variasi dalam mengajar dan pada akhirnya murid menjadi malas belajar.
b. Guru terlalu banyak melakukan kerja sampingan sehingga tidak ada kesempatan untuk membuat soal-soal yang variatif. Akibatnya soal yang diberikan antara satu kelas dengan kelas yang lain sama atau bahkan dari tahun ke tahun tidak mengalami variasi soal.
c.  Soal yang diberikan selalu berorientasi pada hafal mati dari text book.
d. Tidak ada integritas dan keteladan dalam diri guru berkenaan dengan mudahnya soal diberikan kepada pelajar dengan imbalan sejumlah uang.
3.  Faktor dari Orang Tua
a.  Adanya hukuman yang berat jikalau anaknya tidak berprestasi.
b.  Ketidaktahuan orang tua dalam mengerti pribadi dan keunikan masing-masing dari anaknya, sehingga yang terjadi pemaksaan kehendak
4.  Faktor dari Sistem Pendidikan
a.   Meskipun pemerintah terus memperbaharui sistem kurikulum yang ada, akan tetapi sistem pengajarannya tetap tidak berubah, misalnya tetap terjadi one way yakni dari guru untuk siswa.
b.   Muatan materi kurikulum yang ada seringkali masih tumpang tindih dari satu jenjang ke jenjang lainnya yang akhirnya menyebabkan pelajar/siswa menganggap rendah dan mudah setiap materi. Sehingga yang terjadi bukan semakin bisa melainkan pembodohan karena kebosanan.

Ironis memang, disamping ada banyak faktor yang “mempermudah” siswa untuk mencontek, ada banyak cara mencontek yang dilakukan siswa. Seakan-akan mencontek memang suatu kepastian yang tak bisa dicegah. Berikut beberapa “trik” mencontek :
a.  Membuat kertas contekan (kepekan). Bentuknya bermacam-macam. Ada yang berbentuk kertas kecil yang digulung atau dilipat, sampai kertas kecil dan panjang yang dilipat-lipat. Perkembangan terbaru yang pernah ada yaitu fotokopi catatan yang sudah diperkecil skalanya, dan kertas yang telah diketik dengan komputer dan di print dalam ukuran sangat kecil dan rapi.
b. Membuat catatan kecil di telapak tangan, ini adalah cara kuno tetapi kadang masih diterapkan. Cara ini biasa dilakukan untuk mencatat suatu catatan penting yang susah dihafal misalnya rumus atau suatu point penting yang rumit untuk dihafalkan. Kebanyakan cara ini kurang efektif karena informasi yang dituliskan belum tentu keluar saat ujian dan keterbatasan telapak tangan yang hanya dapat menampung sedikit tulisan.
c.  Membuat atau menulis catatan kecil dibangku atau meja ujian. Ini juga adalah cara kuno yang dilakukan oleh siswa saat ujian dan paling umum dilakukan oleh pelajar di Indonesia. Buruknya pengawasan terhadap tata tertib dan kerapian di kelas membuat meja dan bangku terlihat jorok dengan berbagai tulisan hasil karya siswa. Banyaknya coretan di bangku dan meja ini menyamarkan contekan siswa saat ujian.
d. Membawa buku catatan atau buku paket ke dalam kelas. Ini adalah cara menyontek yang paling ekstrim namun bila berhasil diterapkan akan sukses besar, ya jelas aja karena semuanya ada di buku. Tetapi cara ini paling jarang digunakan kecuali oleh siswa yang master mencontek dan umumnya agak bandel di kelas. Hal yang menunjang untuk melakukan ini adalah meja ujian yang memiliki sorokan/kolong yang lebar dan tidak nampak. Posisi duduk juga mempengaruhi dalam pelaksanaan misi rahasia ini.
e.  Bekerja sama dalam menjawab soal ujian. Hal ini membutuhkan kekompakan yang baik diantara siswa. Dalam pelaksanaannya biasanya mereka merancang kode-kode untuk saling berkomunikasi, misal jawaban A pegang hidung, Jawaban B garuk-garuk kepala, jawaban C batuk, dan banyak trik lainnya.
f.  Melirik jawaban teman sebelah. Cara ini paling gampang diterapkan dan paling lazim digunakan, tetapi ini tidak boleh dilakukan dalam waktu yang lama karena akan membuat mata pelaku menjadi pusing sehingga kehilangan konsentrasi untuk mengerjakan soal berikutnya. Kelalaian dan kelengahan teman sebelah saat mengerjakan ujian membuat kesempatan bagi siswa untuk melihat jawabannya.
g.  Membuat contekan di media HP atau BB. Cara ini jarang dilakukan karena susah untuk menerapkannya, disamping ukuran HP dan BB yang cukup mencolok, cahaya yang ditimbulkan dari layarnya juga mudah menarik perhatian. Selain itu sudah ada aturan yang melarang siswa untuk membawa HP saat ujian.
h.         Membawa contekan di WC. Cara ini agak kurang efektif karena hanya bisa dilakukan dalam waktu yang singkat dan tidak bisa sering karena bakalan mencurigakan. Kalau terlalu sering pengawas akan curiga karena sering izin ke belakang. Dan seiring perkembangan zaman, akan kita temukan cara-cara mencontek yeng lebih mutakhir lagi.

Cukuplah sekelumit penjelasan di atas menggambarkan betapa mencontek sudah membudaya bagi kalangan pelajar di Indonesia. Pukulan hebat bagi dunia pendidikan kita. Akan tetapi kita tidak boleh berdiamdiri begitu saja membiarkan budaya ini menjadi semakin langgeng. Kita sebagai orang tua wajib melakukan berbagai upaya guna meluruskan kembali dunia pendidikan di Indonesia menjadi pendidikan yang sportif dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa kita. Ada banyak cara yang bisa kita lakukan diantaranya :
1.   Bentuk kepedulian orang tua tanyakan mengapa anak mencontek, jawaban anak anda menjadikan anda dapat besikap dan bertindak, selalu selidiki perkembangan pola belajar anak anda sebagai usaha pencegahan.
2.  Tolonglah anak anda untuk menemukan jalan keluarnya dan memberikan motivasi, jika anak merasa tidak siap untuk menghadapi tes dan merasa takut gagal.
3.  Memberi bantuan dan bimbingan pada anak anda dalam belajar di rumah sebagai sarana komunikasi pemberian nasehat.
4.  Orang tua memberikan penjelasan tentang keburukan mencontek.
5.  Katakan kepada anak anda bahwa sebuah nilai B dapat diterima jika hasil dari usaha terbaik dan mengerjakannya dengan kejujuran.
6.  Jika menurut anda kemampuan anak anda di bawah standar, maka carilah bimbingan belajar lain terlepas dari bimbingan yang anda berikan sendiri.
7.  Jika anak anda ketahuan mencontek, tindakan anda adalah tidak menghukum atau mengejek anak anda namun berilah kesempatan anak anda untuk bertanggungjawab.
8.  Pujilah anak anda atas usaha terbaiknya, hal ini berbeda dengan berusaha menjadi yang terbaik.
9.  Orang tua atau pendidik sebaiknya selalu memperaktikan atau member contoh perbuatan yang baik, bisa juga dengan mengatakan bahwa “anda tidak meniru pekerjaan orang lain”
10.            Bersikap tenang, jika anak anda mengakui perbuatan curang yang dilakukan karena kemauannya sendiri
Jujur dan percaya diri
Konon di Cina mencontek adalah suatu yang tabu. Hukuman berat akan dijatuhkan kepada orang yang ketahuan mencontek, misalnya, seperti yang digambarkan dalam sebuah film pendidikan yang disiarkan oleh stasiun TV Musical Movie. Dalam film tersebut digambarkan seorang anak harus dipukul bokongnya dengan rotan karena ketahuan mencontek. Bahkan, ketika kasus ini dilimpahkan kepengadilan, hakim membenarkan tindakan pihak sekolah sebagai satu pembelajaran bagi murid untuk bersikap jujur, parcaya diri dengan tidak menyontek.
Hal itu, tentu, berbeda dengan Negara kita, di mana budaya menyontek sudah menjadi sebuah keniscayaan. Maka, tak mengherankan pula kalau budaya korupsi merajalela hampir di setiap instansi pemerintah maupun lembaga-lembaga independen lainnya. Bukan tidak mungkin perilaku korup ini, erat kaitannya dengan perilaku buruk suka menyontek, semasa yang bersangkutan masih duduk di bangku sekolah dulu.
Dampak buruk lainnya dari bahaya menyontek adalah umumnya para pelajar atau mahasiswa akan malas belajar, malas berpikir dan merenung, malas membaca dan tidak suka meneliti. Orang yang suka menyontek, biasanya, hanya memerlukan yang instan-instan saja dan tidak percaya pada kemampuan dirinya sendiri, yang pada akhirnya akan menjadi generasi yang labil. Dan efek jangka panjang yang sangat berbahaya apabila mencontek dijadikan kebiasaan adalah nanti ketika siswa sudah memasuki dunia kerja, dia akan lebih mudah untuk berbuat curang dan sangat meresahkan, korupsi. Karena itu, mulai sekarang, tinggalkanlah kebiasaan menyontek, percaya diri dan tanamkan tekad bahwa kita pun bisa tanpa harus menyontek. Demi terwujud Indonesia jaya. Semoga!

Sumber :
http://www.infoanak.com/cara-mengatasi-kebiasaan-mencontek-pada-anak/. Diakses tanggal 17 Desember 2012 pukul 20:15
http://rumahbelajaritb.wordpress.com/2009/02/04/budaya-mencontek/. Diakses tanggal 17 Desember 2012 pukul 20:13





0 komentar:

Posting Komentar